Derap langkah kaki terdengar tertatih menaiki tangga. Lantai 3 itu terlihat penuh dengan gantungan-gatungan baju yang berjajar rapi, menanti hangatnya cahaya mentari membuatnya kembali kering. Pertama kali ku lihat wajah seorang asing di kos. Usianya tak lagi muda. Berbeda dari kami yang masih mahasiswa. Namun aku tak mau buru-buru berprasangka. Awalny aku pikir dia seorang mahasiswa S2 yang sedang menimba ilmu di universitas yang sama denganku. Dia tersenyum. Menyapaku. Ramah.

“Waduh.. jemurannya penuh ya?” ucapnya sembari mengatur nafas. Dialog pertama aku dengannya pagi itu.

“Iya bu, banyak baju kering yang belum diangkat pemiliknya.” jawabku membalas keramahannya.

Nafasnya masih tersenggal mungkin habis di tengah anakan tangga untuk bisa sampai ke lantai 3.

“Siapa namanya?” ujarnya

“Rieva.”

“Ya ampun. Ini mba Rieva? yang kemarin pagi nganterin Elly ke rumah sakit ya?” katanya antusias.

Aku tertegun. Mencerna kata-katanya yang sangat mendadak. Otakku sedikit melambat karena kaget. Elly? sepertinya aku tidak asing dengan nama itu. Dan akhirnya aku menemukan benang merah. Dia adalah ibu adek satu kosku yang kemarin pagi meminta tolong untuk diantar ke rumah sakit.

“Terimakasih ya mba Rieva kemarin sudah membantu Elly.” ujarnya masih dengan senyum.

“Sama-sama ibu, maaf tidak bisa menjaga Elly secara maksimal.” Jawabku alakadarnya.

Ibu yang tegar. Seketika itulah yang terlintas di dalam benakku. Kemarin pagi, ketika anaknya sedang menunggu hasil pemeriksaan darah di laboratorium, beliau menelponku.

“Maaf merepotkan mba. Titip Elly ya. Ini ibu masih di rumah sakit Bayangkara Surabaya. Sedang menunggu ayah Elly yang akan kemoterapi nanti malam. Maaf ibu belum bisa berbuat apa-apa untuk mendampingi Elly di sana.” suaranya di seberang telepon terdengar parau pagi kemarin.

Sekari yang lalu beliau dengan telaten merawat suaminya yang terkena kanker hidung. Suaminya harus 10 kali kemo untuk mencegah agak kanker itu tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya. Kemarin adalah kemo yang terakhir sebelum penanganan selanjutnya. Dan selama itu juga beliau harus bolak-balik Bojonegoro-Surabaya. Pengabdian seorang ibu kepada keluarganya. Dan saat ini dia berada di Semarang, masih dengan urusan yang sama. Merawat keluarga yang sakit. Tidak akan pernah kenal lelah seorang ibu. Sekalipun beliau harus menahan perasaannya sendiri, rasa lelahnya sendiri, namun beliau tetap mengutamakan semua orang yang dikasihinya. Bagaikan mempunyai ilmu membelah diri seperti amoeba. Sedetik ada di sana sedetik lain ada di sini. Penuh cinta. Seorang wanita mulia itu bernama ibu, atau orang lain ada yang memanggil juga dengan sebutan umi, mami, mama, emak, mamak.

Semoga karunia Allah selalu tercurah kepadamu ibu-ibu tersayang, sosok yang selalu ada untuk keluarganya dalam kondisi apapun. Sosok yang selalu dinanti kehadirannya, dan sosok yang selalu ditunggu kehangatan pelukannya. Karena Allah menurunkan cintanya melewati tangan-tangan lembutmu wahai ibu.

~Karena kasih sayang orang tua seperti jalanan dan aliran sungai yang bermuara terhadap sesuatu yang lebih luas bernama samudra. Sedangkan kita anak? hanya sepanjang galah pun kadang tak sampai~